Di Balik Layar VCS, Jebakan Pemerasan yang Menghantui

Di Balik Layar VCS

Jakarta, 7 Mei 2025Di era digital yang semakin terhubung, segala aktivitas manusia kini dapat dilakukan secara daring — termasuk yang bersifat personal dan intim. Salah satu fenomena yang makin marak adalah Video Call Seksual atau yang lebih dikenal dengan istilah VCS. Namun, di balik aktivitas yang terlihat ‘sukarela’ itu, tersembunyi jebakan mengerikan: pemerasan digital atau sextortion.

Apa Itu VCS dan Mengapa Banyak yang Terjebak?

VCS adalah aktivitas seksual berbasis video call yang dilakukan antar dua pihak, baik saling mengenal maupun anonim. Fenomena ini mulai meningkat drastis seiring maraknya aplikasi pertemanan, media sosial, hingga layanan chatting instan.

Sayangnya, dalam banyak kasus, VCS dilakukan tanpa pemikiran panjang, hanya didorong oleh rasa penasaran, kesepian, atau bujukan dari pihak lain yang tampak meyakinkan dan ‘baik-baik’ di awal.

Di sinilah titik rawan itu muncul: rekaman video atau tangkapan layar dari sesi VCS bisa dengan mudah dimanfaatkan sebagai senjata untuk memeras korban.

Modus Pemerasan Digital yang Umum Terjadi

  1. Bermula dari Rayuan dan Rasa Aman Palsu
    Pelaku biasanya membangun komunikasi intens, menciptakan kesan romantis, dan membujuk korban melakukan VCS. Banyak pelaku menggunakan identitas palsu atau bahkan wajah orang lain.

  2. Rekam Diam-Diam atau Dengan Persetujuan Terselubung
    Saat sesi berlangsung, pelaku merekam aktivitas korban. Kadang korban tidak sadar, atau merasa percaya bahwa sesi tersebut ‘pribadi’.

  3. Ancaman Menyebarkan Video
    Setelah rekaman didapat, pelaku akan menghubungi kembali korban dengan ancaman: jika tidak mengirim uang, pulsa, atau melakukan hal lain, video tersebut akan disebar ke teman, keluarga, bahkan di media sosial.

  4. Korban Terjebak dalam Siklus Ketakutan dan Kepatuhan
    Banyak korban akhirnya menuruti permintaan pelaku berulang kali karena takut nama baik dan reputasi hancur.

Siapa Saja yang Jadi Korban?

Tidak hanya remaja atau orang dewasa muda, semua kalangan bisa jadi korban, termasuk profesional, pejabat, bahkan tokoh publik. Fenomena ini melintasi batas gender: baik pria maupun wanita bisa terperangkap.

Menurut laporan Lembaga Siber Nasional (2024), terdapat lebih dari 3.000 laporan kasus sextortion terkait VCS di Indonesia dalam setahun terakhir — dan itu belum termasuk yang tidak dilaporkan karena korban malu atau takut.

Mengapa Korban Sulit Melapor?

  • Rasa malu dan takut akan penilaian sosial.

  • Stigma korban yang justru disalahkan karena dianggap “ceroboh”.

  • Kurangnya pemahaman hukum mengenai hak digital dan pemerasan daring.

  • Pelaku seringkali menggunakan akun anonim atau dari luar negeri, membuat pelacakan sulit dilakukan.

Langkah Perlindungan Diri dan Pencegahan

1. Jangan Pernah Berbagi Konten Intim Secara Daring

Meskipun dengan pasangan yang dipercaya, ingat bahwa data digital sangat mudah dicuri, disimpan, atau disebarkan.

2. Waspadai Rayuan di Dunia Maya

Jika seseorang yang baru dikenal secara online terlalu cepat membahas hal seksual atau mengajak VCS, itu pertanda bahaya.

3. Gunakan Identitas Palsu? Jangan Termakan

Wajah cantik/tampan bisa palsu. Pelaku sering menggunakan foto orang lain atau deepfake untuk memancing korban.

4. Pasang Perlindungan Privasi Digital

Gunakan aplikasi komunikasi yang aman, aktifkan notifikasi perekaman layar (jika ada), dan hindari menunjukkan wajah atau ciri fisik jelas dalam percakapan daring yang bersifat pribadi.

5. Laporkan Jika Terjadi Ancaman

Simpan bukti percakapan, nomor, akun, dan ancaman. Segera laporkan ke:

  • Kementerian Kominfo (aduankonten.id)

  • Polri Cyber Crime Unit

  • Lembaga bantuan hukum atau NGO yang menangani kekerasan berbasis digital

Apa Kata Hukum Indonesia?

Dalam konteks hukum, pemerasan melalui media digital seperti VCS dapat dijerat dengan:

  • UU ITE No. 19 Tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik.

  • KUHP Pasal 368 tentang pemerasan.

  • UU Perlindungan Anak, jika korban masih di bawah umur.

Pelaku dapat dikenakan pidana penjara hingga 6 tahun atau lebih, tergantung tingkat pelanggaran dan dampaknya pada korban.

Kesimpulan: Saatnya Melek Digital Secara Emosional

Fenomena VCS tidak akan hilang begitu saja. Tetapi kesadaran digital dan kontrol diri adalah senjata utama untuk melindungi diri di era yang serba online ini. Kita harus mulai membangun budaya aman, sehat, dan saling menghargai di ruang digital — bukan sekadar saling menggoda dan mengintai celah eksploitasi.

Jangan sampai sensasi sesaat menghancurkan masa depan panjang. Di balik layar VCS, bisa jadi ada jerat yang telah menunggu — dan begitu terjebak, sulit untuk keluar tanpa luka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *