Putusan MK: Keributan di Ruang Digital Tak Masuk Delik Pidana UU ITE, Ini Penjelasannya

Ruang Digital

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat gebrakan penting terkait penafsiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam putusan terbarunya, MK menyatakan bahwa keributan di ruang digital—misalnya perdebatan panas di media sosial—tidak serta merta termasuk delik pidana dalam UU ITE.

Putusan ini dipandang sebagai angin segar bagi kebebasan berekspresi di Indonesia, yang selama ini kerap tersandung oleh multitafsir pasal-pasal karet UU ITE.


Latar Belakang: Gugatan atas Pasal 28 Ayat (2) UU ITE

Kasus ini bermula dari uji materi Pasal 28 Ayat (2) UU ITE yang berbunyi:

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”

Pemohon uji materi menilai pasal ini terlalu luas, multitafsir, dan berpotensi mengkriminalisasi ekspresi warga negara di dunia maya, bahkan ketika konteksnya hanya debat atau saling sindir.


Putusan MK: Keributan Digital Tak Otomatis Masuk Ranah Pidana

Dalam putusan nomor 50/PUU-XXI/2023, Mahkamah menyatakan:

“…keributan atau perdebatan di ruang digital yang tidak menimbulkan kebencian kolektif atau permusuhan nyata antar kelompok masyarakat, tidak dapat serta-merta dikategorikan sebagai delik pidana berdasarkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.”

Inti Putusan:

Keributan biasa di media sosial tidak cukup jadi bukti pidana
Harus ada unsur intensi yang kuat dan akibat nyata berupa permusuhan antargolongan
Penegakan hukum harus memperhatikan niat dan dampak sosialnya, bukan sekadar isi postingan


Dampaknya terhadap Penegakan UU ITE

Putusan ini membuat batasan yang lebih jelas dan tegas terhadap penggunaan pasal-pasal UU ITE, khususnya dalam:

  • Melindungi kebebasan berekspresi dan kritik warga

  • Menghindari kriminalisasi atas perdebatan wajar di media sosial

  • Memberikan pedoman hukum bagi aparat penegak hukum dalam menangani aduan

Dengan ini, polisi tidak bisa lagi asal memproses laporan hanya karena seseorang merasa tersinggung oleh unggahan atau komentar di internet.


Apa Saja Syarat Supaya Bisa Masuk Delik Pasal 28 Ayat (2)?

MK menyatakan bahwa bukan semua ujaran yang bersifat tajam atau menyinggung bisa dipidana. Harus terpenuhi:

  1. Niat jahat (mens rea) untuk menimbulkan permusuhan antar kelompok

  2. Aksi nyata (actus reus) seperti penyebaran informasi yang secara langsung membakar kebencian

  3. Dampak sosial berupa gesekan horizontal antargolongan di dunia nyata


Reaksi Publik dan Pengamat Hukum

Pakar Hukum:

Dr. Erwin Natosmal:

“Ini menjadi sinyal penting bahwa tidak semua pertikaian di medsos bisa dibawa ke ranah pidana. Kritik keras, satire, bahkan caci maki belum tentu memenuhi unsur delik.”

Aktivis Digital:

  • Menganggap putusan ini sebagai langkah maju untuk demokrasi digital

  • Mendorong revisi UU ITE agar lebih presisi dan tidak memberangus kebebasan berpendapat


Catatan Penting: Bukan Kebal Hukum

Putusan MK ini bukan berarti semua hal bebas diungkapkan di media sosial. Tetap ada batasan yang perlu diperhatikan:

Tidak boleh menyebar hoaks
Tidak boleh menghina atau menghasut berdasarkan SARA dengan sengaja
Tidak boleh menyerang privasi atau doxing

Namun, warga kini bisa merasa lebih aman untuk menyampaikan opini, kritik, dan ekspresi digital, selama tidak menyulut kebencian atau permusuhan yang nyata.


Kesimpulan

Putusan MK ini mempertegas bahwa UU ITE tidak bisa digunakan semena-mena untuk menjerat pengguna media sosial. Keributan digital, meski panas dan keras, tidak otomatis menjadi pidana jika tidak berdampak pada permusuhan nyata antar kelompok.

Ini adalah langkah penting menuju kebebasan digital yang sehat, di mana hukum tidak dijadikan alat untuk membungkam kritik, melainkan menjadi penjaga akal sehat dan harmoni publik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *